Kamis, 07 Januari 2016

Ketika Ibukota Indonesia Berpindah ke Bandung


Secuil catatan dari tanah Borneo
Arum Angger Rosiah

Kalimantan adalah pulau terbesar kedua di Indonesia setelah Irian Jaya. Bukan, bukan namanya yang besar, melainkan pulaunya.. Syukur tak henti-hentinya aku panjatkan pada Tuhan yang telah mengijinkan diri ini menginjakkkan kaki di negeri seribu sungai. Dalam sebuah misi mulia, merajut cerita penuh makna, KKN di Luar Jawa.

Terhitung sudah 27 hari aku di Desa Danau Ganting, Kecamatan Dusun Selatan Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah. Desa tempat mpat puluh lima hari aku mengabdi ini termasuk daerah tertinggal. Pendidikan menjadi prioritas kesekian setelah kemahiran mencari ikan. Ya, pemuda di desa ini dianggap sudah dewasa manakala sudah bisa mencari ikan di sungai dan dijual ke pasar, menghasilkan uang untuk mencukupi kebutuhan pangan.

Pagi itu, aku membuka mata sekitar pukul 02.30 untuk sekadar mematikan alarm. Entah rasanya tubuh ini berat untuk bangun mengambil air wudhu dan bersimpuh di hadapanNya. Rasa kantuk mengalahkanku hingga shalat malamku ini hanya sekadar niat. Mata terpejam kembali hingga pukul 03.00, membangunkan salah satu teman untuk mempersiapkan masakan pagi. Kupotong sayuran untuk menyiapkan sarapan pagi sebelum pukul 06.00. Mencuci sendok, wajan, memasak nasi, dan shalat shubuh. Ini dilakukan karena kami KKN UNS akan melakukan sosialisasi di SMA Negeri 1 Dusun Selatan.

SMA Negeri 1 Dusun Selatan, tidak seperti ekspetasi sebelum-sebelumnya. Bangunan megah berlantai dua yang dihuni ratusan siswa, merupakan salah satu sekolah mengengah atas yang tergolong favorit. Sungguh, sekolah ini berbeda dengan sekolah tingkat dasar yang berada pada lokasi KKNku, Desa Danau Ganting.

SDN Danau Ganting merupakan satu-satunya sekolah dasar di Desa. Lokasinya pun hanya 5 menit berjalan kaki. Sehingga hanya 5 menit pula aku menghafal setiap detail sekolah ini. Kondisi ruang kelasnya sungguh memprihatinkan. Papan tulisnya sudah tidak halus lagi, termakan rayap yang kelaparan. Faktor lain juga karena papan kayunya telah lapuk dimakan usia. Papan administrasi kelas sudah tak berbentuk, robek dimana-mana. Kelas yang kujumpai pertama kali ini adalah ruang kelas 5 SD, bersebelahan dengan ruang kelas 6. Hingga suara temanku yang mengajar di kelas tersebut  terdengar lantang, karena sekat antar kelas hanya terbuat dari papan. Sekolah ini berbahan dasar kayu, dari lantai hingga atap. Jadi tak heran jika gelombang suara menjalar dengan bebas tanpa hambatan, mirip jalan tol.

Benda lain yang kutemukan adalah penghapus papan tulis. Bukan penghapus yang cantik dari plastik berwarna biru seperti pada umumnya, namun terbuat dari kain yang dilipat-lipat dan diikat. Kali ini penghapusnya berbeda.

Jumlah siswa siswinya hanya 36 siswa. Bukan 1 kelas untuk 36, tapi 36 untuk satu sekolah. Tetapi, jangan mengira sekolah ini sepi, bahkan ramainya menandingi sekolah elit. Mereka selalu belajar dengan bahagia. Entah mengapa jam sekolah di Danau Ganting hanya mencapai pukul 10.00, maksimal 10.30 untuk kelas 6. Padahal, di Pulau Jawa untuk kelas 6 dapat mengakhiri pelajaran pada 13.00. Entah..

Sampai hari ini, banyak pelajaran yang kudapat dari Desa ini. Salah satunya terjadi ketika aku mengajar Pendidikan Kewarganegaraan tentang NKRI di kelas 5, dan saat itu aku bertanya,
“Apa ibukota negara Indonesia?”
Seorang anak bertubuh kecil dan berambut seperti Dora, yang selalu juara kelas ini menjawab dengan lantang,
“Bandung!” Aku tersentak, terdiam, tersenyum.
Sejak kapan Ibukota kita pindah ke Bandung? Bahkan merekapun ada yang menjawab “Buntok!”
Buntok adalah ibukota kecamatan di Kecamatan Dusun Selatan. Mereka menyebutnya kota, kota yang terdekat dengan desa. Untunglah setelah suasana hening, ada seorang siswi yang mengangkat tangan dan tanpa aku pinta mengoreksi jawaban temannya.
“Bukan, tapi Jakarta!”
Aku semakin tersenyum..
Setelah itu, aku menggambar peta buta Negara Indonesia pada papan tulis putih dan menanyakan letak Kota Jakarta. Bahkan mereka pun tidak paham letak ibukota negara mereka sendiri. Semacam monopoli pikiran bahwa mereka tidak harus tahu Ibukota negara ini. Mereka menunjukkan kota Jakarta tepat di tengah-tengah antara pulau Sumatra dan Jawa. Itu bukan Ibukota negara ini nak.. itu Selat Sunda..

Kujelaskan dengan perlahan dimana letak Ibukota negara ini. Kota yang konon katanya lebih kejam dari Ibu Tiri. Kota tempat berkumpulnya orang-orang elit, beriringan pula dengan kota tempat berkumpulnya orang-orang yang hidup di bawah jembatan layang. Keras. Memprihatinkan.

Untunglah anak-anak ini adalah anak polos yang dalam hidupnya kukira selalu bahagia. Mereka adalah anak-anak asli tanah Borneo, anak asli Danau Ganting. Mereka lahir dari tanah ibu pertiwi, suku Dayak Bakumpai. Bakumpai adalah salah satu dari sekian banyak suku dayak di Kalimantan, suku dengan mayoritas pemeluk agama Islam. Hampir seluruh warga desa Danau Ganting adalah muslim.
Setelah bersenang-senang dengan peta buatanku, mereka kuajak untuk bersama-sama menyanyikan lagu nasional. Lagu ini berjudul Dari Sabang Sampai Merauke..

Dari Sabang sampai Merauke
Berjajar pulau-pulau..
Sambung menyambung menjadi satu
Itulah Indonesia..
Idonesia tanah airku, aku berjanji padamu..
Menjunjung tanah airku
Tanah Airku INDONESIA..

Aku pun merasa terharu kala anak-anak menyanyikan lagu Dari Sabang Sampai Merauke dengan lantang dan semangat, walaupun mereka tak tahu letak Kota Sabang dan Merauke. Mereka hanya tahu, ini Indonesia..

Pengalaman mengajar disini merupakan kebahagiaan tersendiri. Mengajar disini membuatku semakin yakin bahwa guru merupakan salah satu profesi yang mulia, mengajarkan ilmu yang bermanfaat bagi anak-anak generasi penerus bangsa.

Empat puluh lima hari sudah aku dan teman-teman tim KKN Danau Ganting, sebelas mahasiswa Universitas Sebelas Maret, menjalani kehidupan di luar Pulau Jawa. Aku berharap akan lebih banyak mahasiswa-mahasiswa yang merasakan pengalaman berharga menjalankan Kuliah Kerja Nyata di Luar Jawa. Bertebaranlah kalian di muka bumi... Salam hangat dari keluargaku, tim KKN TI UNS 2015.
_Abdi, Arum, Chandra, Dewi, Elvita, Faiz, Indra, Mekar, Rani, Wahyu, Zulfa_

Tulisan mungil nan indah dari tangan anak-anak Danau Ganting



Posko, saksi bisu 45 hari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tambahkan Komentarnya :)